Oleh: Aliansyah Jumbawuya
Anggaplah redaktur itu sebagai guru yang baik, karena ia mengerti betul siapa pembacanya dan apa yang diinginkan.
(Muhammad Diponegoro)
***
Taruhlah kemampuan menulis sudah lumayan, tidak masalah lagi. Justru yang sering jadi kendala itu ketika hendak mempublikasikannya. Setelah dikirim ke media massa, ditunggu-tunggu sekian waktu, tak juga kunjung dimuat. Kasus seperti ini cukup banyak dialami orang, terutama oleh calon penulis. Akibatnya, niat yang semula begitu menggebu-gebu untuk jadi penulis berangsur redup.
Untuk menghindari hal demikian, berikut ini ada beberapa tips agar tulisan kita dimuat di media massa:
Pertama, pelajari media cetak bersangkutan. Sebab, masing-masing koran, tabloid, majalah, itu berbeda-beda segmentasi atau sasaran pembacanya. Dari awal pihak pengelola pasti punya ‘standar’ tertentu. Boleh jadi tulisan Anda sudah bagus, tapi karena tidak sesuai dengan visi dan misi media terkait, akhirnya ditolak. Contoh, Anda menulis cerita remaja pro-pacaran dengan aneka pergaulan bebasnya, tentu tidak cocok bila dikirim ke Serambi Ummah, Annida, Muslimah, atau Sabili. Begitu pula, jika Anda menulis cerpen yang sarat nuansa islami, tapi dikirim ke media massa yang dikelola oleh orang-orang komunitas Utan Kayu, kemungkinan besar akan terganjal karena berbeda paham atau aliran. Kurnia Effendi pernah dimintai tulisan oleh redaktur majalah Matra untuk menyambut momen tertentu. Begitu naskah dikirim, ternyata dinilai terlalu feminim, bertentangan dengan citra maskulin yang menjadi ciri khas media bersangkutan. Begitu pula cerpen keduanya, masih dianggap kurang pas. Baru pada kali ketiga karya Kurnia diterima.
Bayangkan, itu redaktur sendiri lho yang minta, namun tetap saja tidak bisa langsung disetujui. Ini bukan berarti tulisan Kurnia Effendi yang terdahulu jelek — buktinya cerpen pertama dimuat di majalah Femina dan yang kedua diterbitkan Kompas — tapi ada kriteria tertentu yang harus dipenuhi.
Termasuk masalah rubrik, kalau di media massa tersebut tidak ada ruang untuk puisi misalnya, jangan ngotot mengirimkan puisi. Mubazir, tidak bakalan dimuat. Sebab, bukan redaktur yang harus menyesuaikan dengan penulis, tapi penulislah yang mesti jeli ‘membaca’ mau redaktur.
Kedua, khusus bagi penulis pemula sebagai langkah awal sebaiknya mengirim tulisan ke koran lokal dulu, sebab seleksinya cenderung lebih longgar, sehingga kemungkinan untuk dimuat pun lebih besar. Anggaplah Anda masih tahap belajar, sekaligus dalam upaya menumbuhkan kepercayaan diri. Nanti kalau telah terbiasa dan piawai menulis, baru membidik media nasional.
Jangan sampai baru satu-dua kali menulis sastra sudah buru-buru mau menaklukkan Horison misalnya, dikhawatirkan lantaran persaingan yang ketat, tunas layu sebelum berkembang. Sebenarnya bukan tidak berpotensi untuk jadi penulis, tapi cuma karena keliru menerapkan strategi. Ingat, pertumbuhan manusia sendiri melalui fase-fase tertentu: dari berbaring, duduk, merangkak, berdiri, dan seterusnya, tidak bisa langsung melenggang. Begitu pula dalam urusan mempublikasikan tulisan.
Ketiga, setelah Anda mengirim sebuah tulisan ke media massa, segera tulis topik yang lain. Jangan tunggu dimuat dulu, baru menulis lagi. Sebab, urusan kapan tulisan tersebut dimuat itu sudah di luar wewenang penulis, toh Anda tidak mungkin mengendalikan hati dan pikiran redaktur. Jadi, lakukanlah apa yang bisa dilakukan, yakni teruslah menulis. Bukankah dalam hukum probalitas, semakin banyak tulisan yang kita kirim, semakin besar pula kemungkinan untuk dimuat?
Keempat, kalau bisa mempublikasikan tulisan jangan terpaku hanya pada satu media. Kalau cerpen atau artikel Anda minggu ini dimuat di koran A, kecil kemungkinan edisi depan diisi karya Anda lagi. Sebab, selain mempertimbangkan mutu, redaktur juga ingin memberi kesempatan pada penulis lain. Tidak mau medianya hanya didominasi orang-orang tertentu. Kecuali, bila Anda diminta jadi pengasuh rubrik tetap. Untuk sampai pada tahap tersebut, tentu saja Anda harus punya brand yang ‘menjual’ dan kesempatan tersebut agak langka.
Kelima, seorang penulis harus melek teknologi. Jangan sampai orang lain mengirim tulisan lewat email, Anda masih menggunakan mesin tik atau tulis tangan. Kalau di waktu bersamaan ada dua tulisan dengan kualitas yang sama, tentu redaktur akan mengambil yang lebih praktis. Daripada mengetik ulang tulisan Anda mending mengambil file yang sudah siap saji.
Keenam, kenal dan bersahabat dengan redaktur boleh jadi merupakan nilai plus tersendiri untuk memuluskan peluang tulisan Anda dimuat. Tapi, tetap saja itu bukan suatu jaminan. Karena di sisi lain redaktur pun harus bertindak profesional. Kalau ada tulisan lain yang masuk duluan berbulan-bulan, sementara tulisan Anda baru kemarin diterima, lantas Anda minta diprioritaskan karena merasa punya hubungan dekat, juga tidak adil. Objektivitas tetap perlu dikedepankan.
Ketujuh, hindari mengirimkan tulisan kembar apalagi plagiat. Jika itu Anda lakukan dan ketahuan, sama artinya mencederai kepercayaan redaktur yang selama ini terbina.
Tulisan kembar maksudnya karya yang sudah dimuat di media A, kemudian dikirim lagi ke koran B, entah isinya sama persis maupun judulnya doang yang dirubah, tetap saja tidak fair. Hal itu akan menimbulkan asumsi negatif di benak redaktur. Pertama, si penulis dianggap sudah kehabisan ide dan kreativitas, sehingga hanya mampu menembakkan ‘selongsong’ bukan ‘peluru’ baru. Kedua, ini agak ekstrem, Anda dinilai mata duitan karena ingin menangguk honor secara double.
Sedangkan karya plagiat ialah menyontek total atau sebagian karya orang lain. Akibatnya bisa fatal, nama Anda di-black list atau pemilik karya aslinya menuntut ke meja hijau karena hak intelektualnya dilanggar. Jadi, bagi yang pernah melakukan segera hentikanlah kebiasaan buruk ini.
Delapan, simpanlah arsip tulisan Anda. Dengan demikian, kalau tulisan Anda ditolak, Anda masih bisa mengirim ke koran, tabloid, atau majalah lain. Terserah mau direvisi atau dibiarkan utuh seperti semula. Sebab, siapa tahu di media yang berbeda karya Anda diterima.
Kalaupun tulisan tersebut tetap dianggap tidak layak muat, jangan keburu putus asa. Jika sewaktu-waktu kebetulan punya modal, silakan Anda terbitkan sendiri. Tidak mustahil tulisan Anda yang tadinya disepelekan orang, ketika dibukukan justru best seller. Bagaimanapun yang paling menentukan apakah tulisan itu diminati atau tidak, pada akhirnya ada di tangan masyarakat pembaca.
Semoga beberapa tips di atas bisa bermanfaat. Selamat mencoba!
Laman asli di SINI
0 comments:
Posting Komentar