Berbakti, Berkarya, Berarti

web hosting indonesia

Ayah, Bunda dalam Perjuangan


Oleh : Arman Mulyadin

Bumi nampak membeku diguyur hujan yang terus menerus tanpa henti. Sore ini aku putuskan untuk tidak pergi kemana-mana. Aku akan berdiam diri dirumah meratapi hujan yang begitu derasnya. Sendiri aku di dalam kamar, menghayal dan membayangkan suatu saat akan kudapatkan kebahagiaan yang hakiki.
Kutatap pohon-pohon pada bergoyang tertabrak rintikan hujan, Angin membasuhi mukaku dengan sejuknya. Tapi perasaanku tak karuan rasanya mengingat sesuatu tentang hidup. Ya, hidup. Kurasai selama ini apa yang menjadi kehendakku tidak pernah terkabul hanya karena ketidak beradaan uang di sakuku. Mengingat semua temanku di sekolah berlibur pada bersenang-senang menghamburkan uang, bertamasya. Sedang aku ? Hanya diam dan membayangi seolah aku pun bisa seperti mereka.
Dalam benakku aku merasai ketidak adilan hidup. Seringkali terasa tersisihkan karena keterbatasan ekonomi. Padahal ayahku tergolong berpenghasilan cukup, besar malah. Tapi kenapa karus kurang ? Ini yang harus aku tanyakan kepada ayah dan Ibu.
Kemudian aku beranjak dari tempat tidur, kurapikan tempat tidur kemudian aku keluar dari kamar. Kudapati Ayah dan Bunda tengah anyik berbincang di ruang tamu sembari ditemani secangkir kopi hangat dan sepiring singkong rebus. Aku tarik nafas dalam-dalam menyusun tenaga memberanikan diri untuk menyatakan masalahku.
“Ayah, bunda, bolehkah sahaya bertanya ?” Aku memulai sambil duduk di samping Ibu.
“Ada apa, Jang ?” Ibu menjawab sembari memandang mataku dan mengeluskan tangannya di kepalaku. Dan ayah hanya terdiam duduk di samping ibu. “Apa yang hendak kau tanyakan pada ayah dan bunda ?”.
“Tapi, lancangkah bila sahaya bertanya ini, Bunda ?” Aku teranjak dan berpindah duduk berhadapan dengan ayah dan bunda.
Bunda dan ayah pun tampak merenung, menebak-nebak apa yang hendak aku tanyakan.
“Apakah kiranya itu, Jang ?” Bunda berucap dan berpindah ke sampingku sambil memegang tanganku seolah menunjukkan kasih sayangnya.
“Begini, Bunda. Selama ini sahaya merasa selalu serba kekurangan dalam sekolah. Sementara menurut orang, penghasilan ayah sebagai mandor rawat perkebunan bisa dibilang cukup, besar malah. Apakah kiranya alasan ayah dan bunda tentang hal ini ?” Aku terdiam dan menunduk, tidak sanggup rasanya menatap dan menghadapi dua orang agung ini. Sementara tangan ibu masih memegang tanganku lebih kencang, rambutnya yang terurai terasa bersandar di pundakku dan air mata mulai meraba bajuku dan membasahinya. Ayah pun berpindah di sampingku seperti halnya yang dilakukan ibu. Kasih sayangnya terasa mengalir pada kedua tanganku. Aku tidak kuat menahan ini. Kemudian aku tersedak dan menangis. “Ayah, Bunda. Maafkan sahaya !.”
“Tidak, Jang sudah dewasa kau nampaknya, sudah bisa berpendapat dan mengadu. Sekarang kau sudah tanyakan itu, apa daya, kami harus menjawab pula. Diamlah disana dengarkan cerita perjuangan ibumu mempertahankanmu !,”
Kemudian keduanya merebah melepaskan pelukannya dan kembali duduk berhadapan denganku, aku tetap menunduk dan menyapukan air mata yang basahi pipiku. Hati semakin menggebu, rasa bersalah kerap menghantui rasa yang ada. Yaa Allah aku telah buat mereka menangis.

Kemudian ibu bercerita dan ayah hanya terdiam. Yang ceritanya seperti ini : “Empat belas tahun lalu, waktu itu kau baru 7 bulan dalam kandungan. Kami cukup bahagia, tiada pernah mengeluh karena kekurangan sesuatu pun. Namun sikap bunda yang tidak bisa diam. Bunda menjadi menyesal hingga sekarang. Bunda selalu bersikeras hendak bekerja memetik teh untuk menghilangkan kejenuhan daripada berdiam diri di rumah dan sekalian sedikit membantu ayahmu mencari nafkah.
Kami selalu bangun pagi, menyiapkan bekal makanan. Dan kami pergi ke tempat kerja masing-masing. Kala itu ayah kerja di Blok D 4 sementara bunda di kebun blok D 6 yang lahannya begitu terjal berbukit dan jauh dari tempat ayah bekerja.
Awalnya bunda pergi bersama teman-teman yang lainnya, bersorak ramai melewati riak sungai yang gemericik. Suara burung elang kerap kali terlepas lantang di atas kepala kami, gerimis membasahi raga dan tanah bumi, kabut berupaya menghalangi pandang kami sehingga kami tidak menikmati keindahan kebun teh di pagi hari.
Kemudian kami hendak melewati bukit yang terjal dan curam. Tanahnya licin dan rerumputan bergoyang karena getaran langkah kami. Perjalananpun begitu riang dengan canda dan tawa. Sungguh terharu bila bunda ingat itu. Tiba tiba bunda merasakan sesuatu di kaki bunda, dan ternyata itu adalah ular hijau yang hampir menggigit bunda. Karen kaget, bunda meloncat, teman yang lain terheran dan berbalik menatap bunda yang berjalan sendirian di belakang. Bunda tidak bisa bertahan dari licinnya tanah waktu itu dan akhirnya bunda terjatuh dan mengalami pendarahan pada kandungan bunda. Kau itu, Jang. Semua berusaha menolong bunda dan membawa bunda pulang.
Waktu itu semua orang panik, bunda diboyong ke rumah. disandarkannya bunda di atas ranjang yang kau pakai sekarang sambil menahan sakit pada kandungan bunda. Semua bingung hendak memberi kabar pada ayahmu, sementara mereka tidak mengetahui ayah bekerja di kebun mana. Belum ada alat komunikasi waktu itu. Kemudian bunda bersahut sambil merintih memberi tahu mereka tempat ayah bekerja.
Matahari belum juga muncul, gerimis terus mengepul menghiasai udara pagi, sementara embun telah pergi. Dua orang memegangi perut bunda, satu orang menahan pundak bunda. Sungguh, Itulah titik sadar bunda. Kemudian bunda pinsan.”
***
Ayah melanjutkan cerita ibu. Seperti ini ceritanya : “Ya, Ayah datang dan kerumunan orang begitu ramai hendak mengetahui kabar ibumu. Ibumu tengah tergolek. Ayah tak berdaya. Cemas, gusar dan bingung tertanam dalam otak ayah. Nafasnya begitu lemah, tangannya terasa dingin ketika ayah pegangi. Apa yang harus ayah lakukan, ayah tidak tahu. Hanya galau dan takut kehilangan saja yang membayangi.
Kerap kali air mata menetes pada dada ibumu ketika ayah peluk. dan ketiga teman ibumu keluar sembari menangis tak kuasa melihat jeritan ayah dan golekan raga seorang mempertahankan darah dagingnya.
Ayah mencoba menggoyang-goyang tapi tak tergerak, hanya takbir, tahmid dan tahlil yang keluar membisik dari mulut ibumu. Pendarahan terus keluar tanpa henti. Ayah semakin panik.
“Apa sebaiknya tidak lebih baik jika Ibu dibawa ke dokter ?” Saran salah satu anak buah Ayah.
Pundak Ayah terasa teraba oleh tangan-tangan yang hendak berduka cita, tapi Ayah hiraukan. Ada benarnya juga barangkali saran anak buah Ayah itu.
Semua tampak gotong royong membantu mengangkat Seorang tidak berdaya itu, Bundamu. Ayah lemas tak kuat menopang raga ini seakan kaki ini tidak berpijak, bumi terasa bergoyang dan dunia seakan sesak tanpa peradaban. Ayah pun diboyong pula.
Dulu, kendaraan begitu sulit. perlu menunggu berjam-jam hingga menunggui mobil anggkutan lewat. Ibumu disandarkan pada lantai Langgar di pinggir jalan. Gerimis tak henti-hentinya membasuh perih hati ayah. Semua tampak silih berganti memegangi ibumu dan mengelus pundak Ayah seolah menenangkanku.
Satu jam kemudian akhirnya angkutan umum tibalah juga. Kebetulan tiada penumpang satu pun. Ibu, Ayah masuk lebih dulu, kemudian mereka yang berbaik hati menyusul kemudian. Berangkatlah kami meninggalkan semuanya tanpa menoleh bersama sejuta isak tangis dan duka yang tak tartata.
Jalan berkelok dan terjal bebatuan mengoyang-goyangkan ibumu di dalam mobil. Penghalang sebuah perjalanan yang membiarkan ibumu berlama-lama berjuang mempertahankanmu. Ayah terus pegangi ibumu seraya ucapkan puji-pujian mengharap Ridha-Nya, yang lain pun mengikuti. Betapa khidmat meski tangis belum juga reda.
Sampai kami pada puskesmas bersamaan dengan adzan dzuhur. Tatkala kalimat pertama dalam adzan terkumandang, rasanya menusuk sanubari dan kuikuti. Menangis, ayah tersungkur sujud di pelataran puskesmas seraya mengharapkan mukjizatnya.
Ibumu tengah sampai di ruang utama dan diperiksa. Masih tergolek. Tiada suatu reaksi sedikit pun. Ayah menunggu diluar kamar sendiri, sementara yang lainnya ayah perkenankan pulang setelah shalat dzuhur berjamaah bersama.
Kemudian perasaan ayah mulai reda tiada lagi air mata yang keluar. Mungkin telah habis terkuras dan tiada yang tersisa. Ayah mulai bisa berfikir dan mengendalikan diri. Berdzikir, dan hanya berdzikir yang ayah bisa. Sementara tiada pasien lain lagi selain ibumu. Semua tampak sepi dan hanya ada kebisuan antara bumi dan diri. Meski hati terus mengadu pada sang Pencipta.
Ayah mulai menggerakan badan. Berjalan menengok ibu dari balik pintu kaca yang telah tertutup sebagian dengan gordin berwarna putih kecokelatan. Belum selesai pemeriksaan.
Ayah lanjutkan menengok pemandangan dari pintu belakang. Kolam tampak asri dengan ikan-ikan yang berebutan makanan, begitu pun dengan bebek-bebek yang berkicau bersorak di pinggir kolam. Kodok bergantian bersahutan dan sungguh ramai peradaban di luar ruang. Pohon-pohon besar bersanding dengan sejuta keindahan dunia yang menyejukan sukma. Dan matari muncul juga.
Ayah melamun hingga lamanya, air mata pun berlinang kembali. Hanya memandangi ketentraman akan keramaian hidup pada alam raya yang berseri.
Tangan dokter yang memeriksa ibumu memegangi pundak ayah. Ayah kaget. Berbalik sambil menyapu air mata yang berlinang. Ayah tanyakan kabar ibumu dan ayah merasakan benturan begitu keras atas ucapan dokter itu yang menyatakan bahwa ibumu harus dibawa ke RSUD Cianjur karena tim dokter puskesmas di puskesmas bersangkutan tidak menyanggupi pengobatan ibumu.
Ayah bingung. Darimana ayah punya biaya untuk semua itu ? Meski pun semua biaya ditanggung oleh perusahaan tempat ayah bekerja, tapi tidak seratus persen dari perusahaan, tetap saja ayah harus punya pegangan untuk semuanya. Lanjutkan lamunan ayah pada pintu belakang hingga menemui titik temu. Solusinya adalah dengan meminta pinjaman kepada Bank terdekat dengan persetujuan pembayaran dengan pemotongan upah setiap bulannya. Ayah tahu ini akan menyengsarakan untuk 5 tahun ke depan karena upah ayah akan habis untuk membayar tagihan yang harus ayah bayar. Tapi tidaklah mengapa, pikiran ayah waktu itu adalah asalkan istri dan darah daging ayah selamat dan kembali seperti apa yang ayah harapkan.
Singkatnya, dibawalah ibumu ke RSUD Cianjur dan menjalani perawatan disana selama 1 bulan lamanya. Masa kritisnya telah terlewati. Ibumu telah berseri, bisa bercengkrama dan mengulas dada. Bercanda dan Bergurau menghilangkan kejenuhan menunggui perginya siang mengharap datangnya malam. Dan semua datang menengok kami sembari membawa berbagai makanan dalam keranjang juga rangkaian bunga. Hingga esoknya kami tinggalkan tempat yang membosankan itu. Alhamdulillah ibumu telah selamat.
Dan dua bulan berselang lahirlah engkau seorang anak laki-laki yang ayah banggakan dengan paras tampan, rambut yang lebat hidung yang mancung dan sekarang telah menjadi ksatria bagi ayah dan bunda dengan prestasimu di sekolah”
***
Ayah menarik nafas panjang memeluk ibu seolah merasakan kebahagaiaannya kala itu. Aku sangat tidak kuat menahan linangan air mata menagisi kegetiran hidup dan ketabahan seorang dalam memperjuangkan nyawa demi darah dagingnya. Yaitu aku. Aku berusaha mendekati ayah dan bunda seraya bersujud diantara keduanya. Memohon pengampunan dari apa yang telah aku perbuat terhadapnya selama ini. Begitu banyak dosa, barangkali lebih banyak dosaku dari pada butiran pasir di sisi pantai atau lebih besar dosaku padanya daripada bumi dan seluruh mayapada. Aku terus bersujud dan tak henti air mata mengalir membasahi kaki ayah juga bunda. Tangan keduanya terasa lembut membelai dan mengangkatkan sujudku. Sesungguhnya aku tidak pernah tahu bagaimana cara membayar atas perjuangannya.
“Bangunlah, Jang. Tidak perlu kau tangisi semuanya !” Ibu mengambil mukaku dan menghadapkan pada wajahnya yang berseri itu. Lalu disapunya air mataku dengan kerudungnya yang tampak lusuh. sementara dua telapak tangannya menempel di pundakku. “Janganlah kau menangis, Jang ! Jadilah pribadi yang kokoh, kuat dan berani dikala dirimu benar dan janganlah kamu perbuat sesuatu yang salah menurut Agama atau pun Bangsa. Ajaklah semua orang melalukan sesuatu yang bermanfaat untuk bumi pertiwi ini dan Jangan tingalkan kewajibanmu sebagai seorang muslim yang kaffah. Jadilah pahlawan bagi keluarga, bangsa dan agama !” Ibu mengiakan dan melepaskan genggamannya dari pundakku.
“Benar kata ibumu, Jang” Ayah menambahi.
“Tapi, Sahaya terlalu banyak dosa, ayah, bunda”
“Tidak, Jang. Ayah, bunda selalu memberi pintu maaf sebesar-besarnya kepadamu selama kamu masih dalam jalan yang lurus”
“Sungguh, Ayah ?”
“Yap !”
Kamudian aku duduk diantara keduanya seolah anak balita yang dimanjakan orang tuanya. Mereka mengelus-elus kepalaku menancapkan setitik kasih sayang pada anak daranya.
“Tapi, Ayah, Bunda. Apa hubungannya dengan keadaan yang sahaya alami sekarang ? Itukan hanya berlangsung selama lima tahun ?” Aku berbalik dan beranjak dari belaian mereka menunjukkan kepenasaran.
“Ya, selama lima tahun kami disengsarakan oleh potongan tersebut. Upah ayah habis tidak tersisa. Selama lima tahun pula Ayah dan Bunda menghemat demi hidup sampai kau lahir ayah dan bunda serba kekurangan. Darimana ayah harus menutupi kekurangan itu ? Terpaksa ayah harus gali lobang tutup lobang untuk mencukupi kebutuhan yang ada. Singkatnya setelah pinjaman itu lunas, ayah dan bunda meminjam kembali untuk menutupi lobang yang kami buat selama pinjaman belum lunas, dan begitu seterusnya. Ayah harap, Ujang tidak seperti ayah dan bunda. Berhati-hatilah dalam hidup, jangan kau tinggalkan kewajibanmu sebagai muslim sejati. tempatkan dirimu di posisi yang terpuji, jangan sesekali kau turuti hawa nafsu, berikan contoh kepada orang disekelilingmu dengan menjadikan hidup lebih damai dan bermakna !” Kembali keduanya merangkulku dan bersuka ria bersama seolah enggan mengingat-ingat kembali masa kelam itu.
“Sekarang, sediakah kiranya ayah dan bunda memeluk sahaya sekali lagi !” Pintaku menutup percakapan.

....




0 comments:

Posting Komentar

Ayah, Bunda dalam Perjuangan