Berbakti, Berkarya, Berarti

web hosting indonesia

Catatan Perjalanan FLP Cianjur Ke Situs Gunung Padang


Kamis, 17 Mei 2012
INI CELOTEHKU, APA CELOTEHMU?!

Oleh : Neehaya

Perjalanan ini berawal dari “banyolan” bersama kawan-kawan di FB. Sehari sebelumnya salah satu kawan kami berulang tahun (Kang Hade  yang keberapa tuuuh…? Yang ke-17 ya, hehe…). Aku bilang padanya “ayo kita syukuran di Gunung Padang. Kebetulan kamis besok libur.” Nampaknya usulku mendapat tanggapan yang cukup antusias. Tentu mengasyikkan, kami juga bisa rihlah FLP disana. Akhirnya tujuh pejuang FLP siap berangkat esok harinya untuk mendaki. Sisanya berhalangan untuk bergabung. Kurasa inilah keberuntungan kami yang bisa ikut. “ Gunung Padang, kami datang….”.
(Aris, Niza, Neng, Deva, Ari, Hade, Resty )

Peserta
Kenapa harus ke Gunung Padang ?
Mengingat salah satu anggota FLP ada yang tinggal di Ciperdah, Lampegan. Letakanya cukup dekat dengan Gunung Padang, dengan jarak sekitar 10 km dari rumahnya. Menurut kawanku itu, cukup satu-dua jam perjalanan bisa sampai disana (Teh Resty yang baik hati  terima kasih ya sudah menjadi penunjuk jalan hehhehe…). Jadi, sebelum ke Gunung Padang kami bisa mampir dulu ke rumah Teh Resty.

Sebagai anggota pengurus FLP sekaligus sebagai sahabat Teh Resty, aku merasa harus tahu dan penasaran bagaimana perjuangan dia untuk menghadiri pekanan FLP di Cianjur kota. Selain itu, situs Gunung Padang adalah peninggalan sejarah masa megalitikum punden berundak raksasa se-Asia Tenggara (yang hanya ada di Cianjur). Pergi kesana tentu akan menjadi pengalaman yang sangat berharga. Apalagi perjalanan ini adalah yang pertama kalinya untuk kami. (Sebagai orang Cianjur tulen, sebenarnya aku malu harus mengakui kalau ini kunjungan pertamaku. Ehhehe…)

Pemberangkatan
Pukul 09.00 rombongan akhwat berangkat dengan angkutan umum bernomor 43 arah Warung kondang. Tujuan pertama kami adalah Bedahan. Ongkosnya Rp.5.000 kawan! Sampai disana kami memakai jasa ojek menuju Baru. Rencananya, Teh Resty akan menjemput kami disana. Ongkos Rp. 7.000 jadi (aku mengingat ongkos yang harus dikeluarkan Teh Resty untuk datang ke pekanan FLP…. Yaaaa sekitar Rp. 24.000 PP ke Cianjur kota, plus harus jalan kaki melewati perkebunan teh, kampung tetangga dan jalan Siliwangi di Cianjur). Sangat jauh jika dibandingkan denganku yang cukup mengeluarkan Rp. 4.000 saja. Heummzz. Sementara rombongan ikhwan berangkat lebih siang. Mereka menggunakan motor masing-masing.

Kami baru sampai di rumah Teh Resty, tiba-tiba HP-ku berdering. Rupanya dari Kang Aris. “Rombongan Ikhwan sudah sampai dipintu gerbang Gunung Padang” Aris mengabarkan. Tak sempat berleha-leha kami kembali bersiap-siap melakukan perjalanan panjang. Dan benar-benar sangat paaaanjaaaaaangg…. Kami membuat mereka menunggu lama. Cukup satu jam perjalanan menurut anak pribumi, ternyata butuh tiga jam perjalanan  buat anak kota. Grrrrrr … aku tertawa sendiri dalam hati.

Sebenarnya perjalanan panjang kami sangat mengagumkan. Apa yang kami dapat dari perjalanan ini tentu akan berbeda dengan apa yang orang lain dapat. Bayangkan saja, 10 km menuju Gunung Padang, kami harus berjalan kaki. Tidak ada kendaraan umum juga tidak ada jasa ojek. Kalau pun ada katanya ongkos kesana bisa mencapai Rp. 100.000.(masa sih?!) hal itu tidak mungkin kami lakukan. Apalagi salah satu kawanku dompetnya ketinggalan di rumah. Sebagai penggagas aku merasa dituntut untuk memberikan solusi. Dan aku bisa saja meminta teman-teman ikhwan untuk menjemput. Tapi ada pertimbangan lain, aku merasa tidak akan bisa meminta mereka! (Ingat tentang “benteng penjagaan” heheh…)

Dari rumah Teh Resty, kami berangkat pukul.11.00 menyusuri jalan kereta api sepanjang 4 km. Ditengah perjalanan, banyak hal yang menarik perhatianku. Selain keramah-tamahan antara Teh Resty dengan para tetangganya, juga pemandangan alam yang sangat cerah ( panasss memeras keringat dan membakar kulit wajah ck ck ck..). Setiap bertemu dengan jembatan yang dibawahnya mengalir air sungai, aku merasa harus menuntun ketiga kawanku yang takut ketinggian. (Teh Resty yang paling tegang dalam adegan ini hehe.. pegangan teteh sangat kuat dan tahukah wajahmu sangat pucat??? )

Kebun jagung sudah dilewati, bukit ilalang pun mulai tampak. Didepan kini mendongak wajah sapi hitam yang kurus. Dua orang dewasa yang berdiri disampingya tersenyum pada kami. lalu berjalan lagi dan lagi. Tiba di sebuah kampung yang sepi, ada seorang anak laki-laki duduk membungkuk di tepian rel. Dari jarak beberapa meter saja aku sudah menduga-duga dia tidak waras. Kaosnya gombreng, rambutnya awut-awutan, ahh aku tak berminat menelitinya lebih detail. Yang jelas aku sudah mengambil langkah besar-besar. “Wah Bude memimpin sekarang…” komentar Teh Neng (juru masak aku niy… hehe makasih ya Teh sudah membuatkan timbel yang matabh  ). Jujur aku sangat cemas, bagaimana kalau anak laki-laki itu mengejar. Berlari diatas rel kereta bukan ide yang bagus! Lalu kukatakan dengan jujur, aku takut. Semua kawan-kawan jadi ikut membuat langkah-langkah besar. Sementara Teh Neng masih penasaran, dia menoleh ke arah anak laki-laki itu hingga kakinya tersangkut besi rel, ia kehilangan pertahanan dan tubuhnya ambruk. Yak ampun! Aku memutar langkah, kembali mundur dan degup jantungku semakin melonjak-lonjak. Sementara tiga kawanku itu cekikikkkan. Grrrrrrrrrr..

Lihat! Batu-batu koral mulai kami injak. Pecahan-pecahannya menghamburkan cahaya yang menyilaukan mata. Ini pertanda jarak antara kami dengan jalanan beraspal sudah dekat.

Memasuki jalan utama menuju Gunung Padang. Di belokan pertama terdapat plang penunjuk arah. 6 km lagi. Memasuki perkampungan berikutnya, adzan duhur pun mulai terdengar disana. Desas-desus penduduk yang sempat melihat kami berkomentar. “Ada terorist kesini!” celetuk mereka. Jhahah… maklum bercadar semua.

Entah berapa belokan lagi?! Kupandangi wajah kawan-kawan sudah matang dan memucat. Waaaaah aku tak tega tapi mereka masih saja tertawa-tawa. Sesekali menjerit-jerit melihat ulat berbulu tebal merayap didekat sepatu kami, atau menahan jerit dan lonjakan rasa takut ketika anjing mulai mendekat sambil menjulurkan lidah najisnya. Isshhhh…

“Ngupahan nyalira” istilah Sunda cocok dalam kondisi saat itu. Lantunan lagu-Nasyid sampai pop modern mengudara sepanjang jalan. Aku sudah mengeluarkan syair-syair sampah yang butuh dikomposkan, cerita si Kura-Kura sang pendaki yang Luar Biasa juga kata-kata bijak dari Teh Resty, Teh Neng dan apa kabar Teh Niza ? (Teteh yang paling mungil dan kocak ini sungguh tabah. Heheh terima kasih ya, kehadiran teteh selalu merenyahkan suasana kriukk kriukk…. :)

Mencegat mobil truk tidak berhasil, malah rombongan matic melintas dengan lirikan yang naas. Tambah lagi celoteh para pemetik teh berpotensi menjatuhkan mental kawan-kawan seperjuangan. Heumz….lets think!
Akhirnya aku menghubungi Kang Aris. “ Ada yang bisa jemput tas? Plus satu penumpang” kataku. Kabar dari kawan-kawan ihwan ternyata tak begitu baik. Mereka pun mendapat ujian. Dua motor mereka mendapat masalah. Yang satu rantainya kendur, satunya lagi butuh tambal ban. Akhirnya tinggal satu motor yang dapat dimanfaatkan. (motor Kang Hadde apa namanya? Si Kuning ya? Heheh.. terima kasih banyak sudah mempersingkat cerita  heeee..)

Satu penumpang yang kumaksud ialah Teh Nisa, aku rasa dia lebih membutuhkan pertolongan pertama. Berikutnya Teh Neng yang sempat terjatuh tadi. Terakhir aku dan teh Resty. Takjub ! lihat pemandangan yang luasnya membentang. Tak terbayang akan tiba jam berapa di puncak Gunung Padang jika terus berjalan kaki. Aku merasa seperti gila! Di zaman canggih begini, orang-orang tinggal memainkan stang sambil duduk diatas jok kendaraan. Sementara aku lebih berminat untuk menapakkan kaki di jalanan jauh dan terjal. Bukankah ini aneh? Atau biasa saja?

Aneh untuk bangsa kota yang manja, tapi tidak bagi mereka yang menghuni kawasan ini. Menurut cerita Teh Resty, semasa SMP dia dkk. biasa berjalan sperti yang kami lakukan. Kadang mengambil jalur Gunung Manik atau gunung Kasur. Subhanalloh !

Pendakian Menuju Puncak Gunung Padang
Aku rasa cerita bagian ini tentu dialami semua pengunjung. Tangga batu atau tangga tembok yang kamu pilih untuk didaki? Tiada peraturan yang mewajibkan kita naik pakai jalan yang mana. Nah, untuk memuaskan rasa penasaran, aku dkk. FLP memilih tangga batu untuk mendaki, pulangnya barulah pakai tangga bertembok. Oopst sebelumnya jangan lupa daftarkan diri kamu dipintu penjaga, bayar Rp. 2000,- aja hehh. (terlalu murah untuk situs selangka ini ya…)

1, 2, 3, 4 tangga didaki. 5, 6 tangga hoh.. hoh.. hoh… 7… 8….. 9…. hah, heh, hoh….oh jhahaha… bayangkan apa yang terjadi? (ngetik ini pkl 12;59 cekikikkan sendirian di kamar). Wahai kawan-kawan! Pendakian macam ini mungkin sedikit mirip dengan panjat tebing (hiperbola). Benar-benar merayap dan merapat antara kaki ditangga bawah dengan tangan ditangga berikutnya. Dalam pikiranku sempat terlintas “Bagaimana jika aku tak sampai ke puncak?” kepala mendongak ke atas. Kawan serombongan sudah tak nampak. Sementara dibelakangku tinggal satu orang. Kang hade. Ow! Ow! Ow! Buru-buru kuganti kalimat dalam pikiranku “bagaimana jika aku sampai di Puncak ?” . Aku kembalai mendaki, step by step. Strategy berikutnya sepatu ku lepas. Telapak kaki menyentuh permukaan batu, membuatku merasa ada kekuatan baru. Sementara teriakan kawan-kawan dari atas terdengar samar. Sepertinya aku sedang konsentrasi tinggi (maaf ya kalau aku manyun heheh…).

Alhamdulillah aku sampai di Puncak. Kini tinggal satu orang lagi. Hehhe ayo semangat kang Hade ! Allohu Akbar ! dia pun sampai.

Oleh-oleh yang paling bermakna dari Puncak Gunung Padang
Sambil melepas lelah, kami duduk diteras pertama (sebenarnya aku tidak yakin darimana urutan terasnya hehe). Yang jelas di atas tumpukkan batu yang tidak beraturan kami duduk saling membelakangi. Menikmati pemandangan didepan mata masing-masing.

Dihadapanku banyak pengunjung bertebaran di setiap gundukkan batu. Ada yang berfoto, makan-makan dan yang paling menarik adalah sepasang muda-mudi yang bercengkrama dengan dua kuncen berbendo. Nampaknya mereka sedang membahas tentang sejarah Islam di Gunung Padang.

Pendakian belum selesai. Setelah puas menikmati panorama alam dari teras, kami berangkat lagi menuju pusara. Kami bermaksud mencari tempat yang nyaman untuk berkumpul. Namun rupanya di bagian atas orang-orang sedang mengerjakan proyek. Entah proyek apa? (coba kalau berani tanya! ).

Akhirnya kami menemukan tempat yang cukup nyaman untuk duduk membentuk lingkaran (walaupun di atas permukaan tanah yang miring). Saatnya tiba membuka perbekalan, nasi timbel beserta lauk-pauknya, jajanan dan buah pisang. (Kang Aris dan Teh Resty ketahuan lahapnya hehe maklum kalian belum sarapan ya. Padahal sudah pukul 2 siang. Teh Niza dan Teh Neng ayo makannya harus lahap juga, biar ngurangin isi tas hehe. Nah, sayang niy Kang Hade dan Kang Ari tidak makan sama sekali. Sedangkan aku sendiri ikut icp-icip maklum udah kenyang karena capek ). Selesai makan Tafakur-Tadabur alam pun berlangsung dengan khusyu. (Nggak tahu ya kalau ada yang mengantuk ).

Kang Hade yang memulai percakapan. (Alhamdulillah dapat ilham ya sesudah tilawatul Quran ). Kemudian pencerahan dari masing-masing isi pikiran mulai bermunculan. Kurasa inilah yang akan menjadi oleh-oleh yang paling bermakna. Apa yang kamu pikirkan ketika melihat pegunungan?

Deva : Mengingat amanat Allah Swt. yang diterima oleh manusia tak mampu dipikul gunung. Padahal gunung nampak sangat kokoh dan ajeg. Badai sebesar apapun tidak membuat gunung berpaling untuk tetap memaku Bumi (dalam rangka ketaatannya kepada Allah). Sebagai manusia yang memikul amanat istimewa, aku berharap bisa lebih kokoh dari Gunung dalam mentaati Allah Swt.

Ariz : Melihat gunung dari jauh nampak kecil, tetapi dari dekat ternyata sangat besar. Ibarat gunung adalah persoalan manusia yang paling besar dan harus didaki/ditaklukkan. Maka seperti itulah pandangan manusia terhadap masalahnya. Masalah besar mengenai pertanggung jawaban di akhirat nampak jauh dan kecil sementara masalah duniawi didepan mata nampak sangat besar dan dibesar-besarkan. Padahal sebenarnya masalah akhirat tentu jauh lebih sukar. Berharap kami tidak lagi terlena dengan masalah duniawi yang menipu. insyaAllah.

Niza : Setinggi-tingginya gunung, ternyata kaki manusia mampu menginjak puncaknya. Berharap kami selalu optimis dan tawaqal terhadap perjalanan dan perjuangan yang ditempuh. Pada kenyataanya manusia diberikan potensi untuk terus berusaha sampai bisa.
The Resty bilang apa ya? Aku lupa The Neng dan Kang Ari juga seingat saya senyum-senyum aja ya? Ahh, mungkin aku-nya melamun hehe… maaf pembahasan bermakna kami tak bisa kutulis semua. Pada simpulannya kami menganalogikan perjalanan kami sampai puncak gunung Padang ini dengan perjalanan kami dalam kehidupan nyata. (InsyaAllah aku tulis dijudul lain).
Waktu pulang tiba…

Pukul 16.30 kami sudah siap dengan kendaraan masing-masing. Untuk kedua kalinya aku melewati pabrik ayam milik orang Cina (heran kenapa mereka cuek saja dengan kasus flu burung? Ahh tapi emang udah semestinya cuek sieh. Toh bukan kasus flu ayam ya? hehheh). Lalu pabrik teh milik orang Arab dan pabrik bunga (masa sie untuk bunga disebut pabrik? Disebut apa dong… balai? Kebun? Nah, silakan pilih sendiri) milik orang Singapura. Lha, milik orang Cianjur nya mana????????? Wekweeeeew.

Sekilas Info
Situs gunung padang terletak di Desa Karya Mukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Jawa Barat. Situs ini merupakan Megalitik Punden Berundak Raksasa se- Asia Tenggara. Tingginya mencapai 894 meter di atas permukaan laut dan jaraknya 30 km dari pusat kota. Tempat ini diduga sebagai tempat pemujaan para Raja. (Wallohu’Alam). Situs ini adalah salah satu peningglan sejarah pada tahun 2500-1500 SM. Sudah tua sekali ya.

Di gunung Padang tersebar mitos batu gendong, yaitu batu andersit yang beratnya berubah-ubah. Jika kita mampu menggendongnya maka kita akan mampu mencapai cita-cita. Heummmz. Kabar lain adalah keberadaan Batu Piramid yang sampai saat ini masih dalam penelitian. Bebatuan di teras pertama merupakan batu gamelan yang bersuara nyaring.  Sedangkan di teras ke lima merupakan ornamen tempat istirahat Raja. Disana terdapat batu pandaringan/pembaringan.

Ah, kawan-kawan kurasa cukup sampai disini dulu ya celotehnya. Adapun informasi lebih detail tentang Gunung Padang bisa tanya ke Om Google..

Aku minta maaf apabila catatan ini mengusik ketenangan pembaca yang budiman. Heheh. Semoga bermanfaat.

KOMENTAR PARA PENDAKI
“Perjalanan yang menyenangkan..
Alhamdulillah…
Lelah tapi bahagia….
Seneng ihhh….
Makasih ya buat semua….
Heheh, asa hoyong seuri wae….”

Indahnya berkawan dengan para pejuang. Terus mendaki tanpa keluhan! Tapi bersama-sama kumandangkan takbir “Allohu Akbar!”





0 comments:

Posting Komentar

Catatan Perjalanan FLP Cianjur Ke Situs Gunung Padang