Berbakti, Berkarya, Berarti

web hosting indonesia

Sastra Islami Vs Sastra Vulgar serta Sastra Sesat Menyesatkan


Izinkan saya meminjam istilah M. Subhan-biarkan pembaca yang menjadi hakim. Karena sebuah karya tanpa ada pembaca, maka tidaklan berartinya sebuah karya. Karya bisa dipandang dan di cap baik-buruknya semata adanya oleh kesimpulan dari pembaca.

Mengutip kata Riannawati (Sekjen FLP Jateng, Dosen Sastra Indonesia UNS). "Keanekaragaman tema karya sastra semakin variatif ketika pasca reformasi. Sejak dibubarkannya Departemen Penerangan dan 'dimudahkannya' proses penerbitan sebuah karya, maka banjirlah sastra di Indonesia dengan berbagai alirannya. Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu dkk. dengan sastra wanginya, arus besar Afrizalian (pengikut gaya Afrizal Malna) yang anomik, termasuk sastra Islami yang booming dengan label ‘Islami’ pada kemasannya.”
Karya sastra dari dulu sampai sekarang masih terus diperhitungkan di jagad raya, baik sastra berbaur Isalmi, Vulgar (porno sastra) serta sastra sesat menyesatkan.
Di Indonesia sendiri ketiga kriteria ini terus bertentangan. Kadang timbul kadang tenggelam, kadang nge-trend, terkadang menjadi basi. Pro kontra adanya ketiga jenis karya sastra ini selalu hangat diperbincangkan. Baik cerpen maupun novel, selalu dikemas dengan begitu sempurna. Hingga pembacalah yang berhak menilai apakah karya tersebut dinominasikan pada ketiga kriteria di atas.

Pertama Sastra Vulgar
Siapa yang tidak mengenal, Djenar Maesa Ayu. Salah satu sosok perempuan dengan sastra wanginya, penulis ini adalah seorang cerpenis, kritik sastra juga penulis novel. Karya-karya Djenar yang lebih pada cerpen seringkali bernuansa ironi, sinisme, sarkasme. Dengan bahasa yang kasar namun tetap elegan dan tetap diperhitungkan dalam dunia kesusastraan di Indonesia. Djenar sering sekali menghasilkan karya yang berbau porno. Ibarat membaca majalah sama seperti majalah Playboy.

Beberapa karyanya yang selalu hangat menjadi perbincangan, diantaranya: Nayla, Jangan Main-Main (dengan kelaminmu), Mereka Bilang Saya Monyet, Rahasia Rembulan. Di bawah ini bisa kita lihat sepenggal cerita yang ditulis oleh Djenar Maesa Ayu: 

Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi tidak lebih lemah dari laki-laki. Karena, saya tidak mengisap puting payudara ibu. Saya mengisap penis ayah. Dan saya tidak menyedot air susu ibu. Saya menyedot air mani ayah…. (Djenar Maesa Ayu, Menyusu Ayah).
Dari sepengal ini, bisa kita lihat bagaimana sosok Djenar menuliskan dengan begitu lugas, tanpa menggunakan makna kiasan, ada kata esensial terlalu detail dan dipilih menggunakan bahasa Vulgar disaat gambaran cerita harus benar-benar di perjelas. Bila kita berbicara mengenai kode etik berkarya, memang saat ini tidak ada lagi pembatasan, atau sensor. Namun kembali kepada selera pembaca, alangkah lebih bijaknya bila sebuah karya ditulis dengan penuh kehati-hatian, dan memikirkan sasaran pembaca. Memilih bahasa yang bijak, sopan dan penuh keteduhan.
Nun , demi kalam dan apa yang mereka tulis.(Al qalam: 1) ”...Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (Al-alaq :1-5)

Kedua Sastra Islami
Membahas masalah sastra Islami, begitu banyak sekali kajianya. Apakah ia harus bermuatan; Ilmu Ushul Fiqih, Tafsir, Al-Qur’an, atau Dakwah & Syar’i dalam berkarya lebih diperdalam. Memperbincangkan sastra Islami memang tidak gampang karena akan terbentur banyak hal. Karena pada dasarnya jenis sastra Islami ini sendiri mencakup masalah yang tidak terbatas dan mencakup semua persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan mencakup harkat dan martabat manusia. Yang intinya: persoalan hubungan manusia dengan diri sendiri, manusia dengan manusia lain, dan persoalan manusia dengan tuhannya.

Dan tujuan sastra Islami ini sendiri hadir tidak lain adalah sebuah kesadaran dengan adanya ghozwul fikr yang artinya perang pemikiran. Berdakwah dengan tulisan-tulisan yang menyeru sebuah kebajikan, bernafaskan nuansa Islam, seperti pada misi anak-anak Forum Lingkar Pena, yaitu:  “mencerahkan melalui tulisan”.

Menulis karya fiksi yang mendidik, cerdas, menghibur, sekaligus memiliki visi dan misi Islam (baca: sastra dakwah) bukanlah hal yang mudah. Ada wawasan khas yang harus dimiliki oleh sang pengarang. Juga ada kaidah yang harus diikuti dan batasan yang tak boleh ditinggal” (Helvy Tiana Rosa).

Helvy Tiana Rosa, (2003:7) menjadikan sastra sebagai sarana dakwah yang bukan saja memberikan pencerahan fikriyah namun juga pencerahan ruhiyah bagi para pembacanya. Di sinilah peran sastra sebenarnya yakni turut mengambil bagian dalam membenahi masyarakatnya.

Nampak benar bahwa Helvy Tiana Rosa amat tertarik menulis karya sastra dengan tema Islam dan sosial, juga nampak bahwa ia tertarik menulis karya sastra dengan “ancang-ancang”. Dia perempuan penulis pertama di Indonesia yang setia menulis cerpen bernapaskan Islam dan melakukan jihad melalui tulisan.

Beberapa karyanya: Hingga Batu Bicara, Ketika Mas Gaga Pergi, Mencari Senyum, Lelaki Kabut dan Boneka, Lorong Kematian , Sebab Aku Ingin, Bukan di Negeri Dongeng, dll. Menjadi keteduhan bagi setiap pembaca.

Dalam Buku kumpulan cerita pendek "Ketika Mas Gagah Pergi" ini, penulisnya Helvy Tiana Rosa berupaya untuk bereaksi terhadap guncangan-guncangan yang mendera agama Islam di berbagai belahan di dunia. Saat itu pada tahun 2000 ketika kumpulan cerpen ini terbit, buku fiksi yang bertemakan Islam masih sangat jarang. Untuk itulah kemudian Helvy Tiana Rosa berusaha mengisi kekosongan itu. akhirnya terbitlah kumpulan cerpen yang terdiri dari dua belas cerpen remaja yang semuanya pernah dimuat di seri kisah-kisah islami Annida (1992-1997).

Kumpulan cerpen ini telah membuat Helvy tiana Rosa mencapai tujuannya: "dalam rangka syiar Islam". Seperti yang ditulisnya dalam kata pengantar untuk cetakan kedua: Puluhan muslimah mengatakan mereka mengenakan jilbab setelah membaca cerpen "Ketika Mas Gagah Pergi". Beberapa bercerita kalau mereka mempuanyai abg seperti mas Gagah. Ada pula yang mengaku menjadi semangat mengkaji Islam karena 'mas gagahnya', di bawah ini sepenggal cerita Ketika Mas Gagah Pergi:

“Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat waktu berjamaah di Mesjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip dari lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau membaca buku Islam. Dan kalau aku mampir ke kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya "Ayo dong Gita, lebih feminim. Kalau kamu mau pakai rok, Mas rela deh pecahin celengan buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba adik manis, ngapain sih rambut ditrondolin begitu!" 

Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboy. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga tidak pernah keberatan kalau aku meminjam baju kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu selalu memanggilku Gito, bukan Gita! Eh sekarang pakai panggil adik manis segala!”
  (Ketika Mas Gagah Pergi)

Ada beberapa kriteria fiksi islami:
Pertama, fiksi Islami/sastra dakwah dikreasikan dengan niat untuk menegakkan kalimat Allah dan mencari keridhaan-Nya. Keindahan yang tampil dari kreasi itu adalah dalam rangka mengagungkan kebesaran Allah dan membenarkan ayat-ayat-Nya. Kedua, tidak berisi kemaksiatan dan kemusyrikan, yakni tidak menggambarkan apa-apa yang Allah larang untuk ditampakkan sehingga tidak menarik khayalan dan angan-angan kepada hal-hal yang berbau maksiat.

Ketiga Sastra Sesat Menyesatkan
Sastra Sesat, yang secara harafiah berarti memulai, menurut Oxford English Dictionary, adalah "pandangan atau doktrin teologis atau keagamaan yang dianggap berlawanan atau bertentangan dengan keyakinan, atau sistem keagamaan manapun, yang dianggap ortodoks atau ajaran yang benar. Dalam pengertian ini, ajaran sesat adalah pandangan atau doktrin dalam filsafat, politik, ilmu, seni, dll, yang berbeda dengan apa yang umumnya diakui sebagai yang berwibawa."

Dunia sastra aliran sesat menyesatkan sendiri di awali oleh seorang Novel The Satanic Verses adalah salah satu karya Salman Rushdie, seorang penulis asal India yang tinggal di Inggris. Novel yang diterbitkan pada 26 September 1988 oleh penerbit Viking Penguin ini telah memicu gelombang protes besar di berbagai dunia, terutama di dunia Muslim. Ini gara-gara isinya yang secara terang-terangan menghina Islam dan Rasulullah secara keji dan menjijikkan. The Satanic Verses diterjemahkan menjadi ayat-ayat Setan menyulut kontroversi dan polemik berkepanjangan bahkan hingga kini. Sebuah fatwa mati terhadap si penulis dikeluarkan oleh Khomeini. Sederet orang yang dikaitkan dengan novel ini di sejumlah negara ditemukan tewas, terutama para penerjemah The Satanic Verses ke bahasa-bahasa lain. Rushdie pun harus bersembunyi demi menyelamatkan nyawanya. Ia juga harus bercerai dari istinya.

Begitupun dengan karya-karya di Indonesia, banyak sekali karya-karya yang yang mengundang penyisipan mendiskreditkan aktivis Islam. Salah satunya karya Muhidin M Dahlan yang dikenal dekat dengan Pramoedya Ananta Toer ini pernah menulis buku yang amat mendiskreditkan aktivis Islam: Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur.

Ini kisah seorang perempuan bernama Nidah Kirani. Seorang muslimah yang taat. Tubuhnya dihijabi oleh jubah dan jilbab besar. Kecintaannya pada agama membuat dia memilih untuk hidup yang sufistik. Dan keinginannya hanya satu yaitu menjadi muslimah yang beragama secara kiffah. Semangatnya dalam beragama seperti gayung bersambut ketika ia menerima doktrin-doktrin bahwa Islam yang ada di Indonesia sekarang ini tidak murni. Yang murni hanya ada dalam Quran dan Sunnah Rasul. Dengan tafsiran, Islam itu bukan agama. Islam itu Dien atau sistem yang hukum-hukumnya ditata dalam syariat. Klo belum ada pemerintahan untuk mengegakkan syariat itu, maka bukan dikatakan Islam. Singkatnya ia ikut tergabung dalam organisasi itu, Organisasi dimana jemaahnya ingin mendirikan negara Islam di Indonesia. Setelah sekian lama tergabung dalam organisasi itu, ia merasa tidak ada kemajuan dalam organisasi nya. Sistem yang tidak transparan yang didalamnya terdapat kepalsuan dan kebohongan.  Nidah Kirani merasa sangat kecewa. Belum lagi banyak masalah yang timbul akibat keaktifannya dalam organisasi itu. Bukannya segera bertobat dan kembali ke jalan Allah.  Ia malah justru merasa kecewa dengan Allah. ia merasa tidak ada intervensi dari Allah padahal ia telah sebegitu berjuangnya selama menegakkan agama.

Di saat kondisi nya yang galau, ia justru melampiaskan kekecewaannya dengan melakukan free sex. Disini penulis menjelaskan bahwa semua yang tergoda oleh Nidah Kirana untuk melakukan freesex adalah pria-pria yang merupakan aktivis Islam. Mereka adalah orang-orang munafik pikir Nidah. Akhirnya ia pun menjual diri nya pada para pria. Pelacur, pilihan yang dia pikir lebih menguntungkan ketimbang hanya sekedar free sex dengan teman-teman kampusnya. (Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur: Memoar Luka Seorang Muslimah Penulis: Muhidin M Dahlan, Penerbit: ScriptaManent, Cet. 1 (2003).

Kenapa menyesatkan? Karena penulis menguraikan stigma negatif terhadap gerakan Islam, menyisipkan pandangan kufur, bahasa vulgar, menawarkan kegelapan kepada pembaca dalam tulisan-tulisanya.
Contoh lain terdapat dalam karya: Shawni “Iblis Menggugat Tuhan” penerbit Dastan. “Kau bilang Adam berdoa gara-gara hasutanku? Kalau begitu, atas hasutan siapa aku melakukan dosa? Aku sebenarnya melakukan apa yang Dia perintahkan, dan aku sepenuhnya patuh pada keinginan Allah. Mau bagaimana lagi? Tidak ada ruang yang luput dari kuasa-Nya. Aku bukanlah tuan bagi keinginanku sendiri. Aku menyembah Allah selama 700 ribu tahun!

Tak ada tempat tersisa di langit dan di Bumi dimana aku tak menyembah-Nya. Setiap hari aku berkata pada-Nya, Ya Allah, anak keturunan Adam menolak-Mu, namun Engkau tetap bermurah hati dan meninggikan mereka. Tapi aku, yang mencintai dan memuja-Mu dengna pemujaan yang benar, engkau buat menjadi hina dan buruk rupa. Lihatlah segala penderitaan dan kesengsaraan yang telah ditimpakan-Nya atas dunia ini. Lihatlah betapa monster itu melakukan semuanya hanya untuk menghibur diri! Jika ada yang terlihat murni, dibuat-Nya ternoda! Jika ada yang manis, Dia buat masam! Jika ada yang bernilai, dibuat-Nya jadi sampah! Dia tak lebih dari sekadar Badut dan Pesulap Murahan, Pembohong Gila! Dan Kegilaan-Nya masih terus membuatku lebih gila lagi!

The Madness of God menjadikan ketergelinciran Iblis dan dakwaannya kepada Tuhan karena telah menyesatkannya, sebagai landasan bagi pertanyaan-pertanyaan mengenai kehendak-bebas di hadapan kemahakuasaan Tuhan. Pertanyaan yang berulang kali diajukan adalah: Jika Tuhan Mahakuasa dan tiada sesuatupun yang dapat terjadi di luar kehendak-Nya, maka bagaimana mungkin makhluk disalahkan karena dosa-dosanya?
* * *


Referensi:
Djenar Maesa Ayu, Nayla, (Gramedia Pustaka Utama, 2005)
Helvy Tiana Rosa, Ketika Mas Gagah Pergi...dan Kembali, (ANPH, 2011)
M. Shiddiq al-Jawi, Tantangan Ghazwul Fikri Bagi Aktivis Dakwah Kampus, http://mushababdurrahman.blogspot.com/2010/08/tantangan-ghazwul-fikri-bagi-aktivis.html
Muhidin M. Dahlan, Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur! (Jakarta : Melibas, 2003).




0 comments:

Posting Komentar

Sastra Islami Vs Sastra Vulgar serta Sastra Sesat Menyesatkan